Fenomena Waria: Antara Hak Asasi dan Nilai Moral Bangsa
November 06, 2025
0
Oleh: Lalu Wisnu Pradipta
Direktur LIDI Foundation, Pegiat Inklusi Sosial
Fenomena keberadaan waria di tengah masyarakat Indonesia bukanlah hal baru. Namun dalam beberapa tahun terakhir, isu ini kembali mengemuka. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk yang mendapat dukungan dari luar negeri, semakin aktif menyuarakan pengakuan dan perlindungan bagi kelompok ini. Mereka berargumen bahwa waria, sama seperti warga negara lainnya, memiliki hak untuk hidup, bekerja, dan dihormati sebagai manusia.
Secara prinsip, hak asasi manusia (HAM) memang menjamin setiap individu untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan bermartabat tanpa diskriminasi. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan hal tersebut. Dalam konteks kemanusiaan, kita diajarkan untuk menghormati sesama manusia tanpa memandang perbedaan fisik, kondisi sosial, maupun identitas.
Namun di sisi lain, ajaran agama dan nilai moral bangsa juga memiliki pandangan yang tegas. Sebagian besar ajaran agama menolak perubahan atau penyimpangan terhadap kodrat manusia sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam pandangan ini, manusia diciptakan berpasangan dan berkewajiban menjaga kehormatan serta kesucian dirinya.
Ketegangan antara dua nilai — hak asasi dan moralitas agama — sering kali muncul di ruang publik. Di satu sisi, ada seruan untuk menghormati hak-hak kelompok waria sebagai sesama manusia. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa dukungan terhadap gerakan ini, terutama dari lembaga asing, dapat menggeser nilai moral dan budaya bangsa Indonesia yang religius.
Pertanyaannya kemudian, apakah gerakan ini murni untuk kemanusiaan, atau justru menjadi bagian dari pengaruh global yang dapat melemahkan fondasi moral bangsa?
Pertanyaan ini penting bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengajak masyarakat berpikir lebih bijak dan kritis. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menyaring pengaruh luar dengan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur yang diyakininya.
Kita tentu sepakat bahwa setiap manusia berhak hidup aman dan bebas dari kekerasan. Tidak boleh ada penghinaan atau persekusi terhadap siapa pun, termasuk terhadap mereka yang berbeda. Namun penghormatan terhadap hak asasi tidak boleh dimaknai sebagai pembenaran terhadap perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moral bangsa.
Karena itu, diperlukan pendekatan yang manusiawi sekaligus bermoral.
Pemerintah, lembaga sosial, tokoh agama, dan masyarakat perlu duduk bersama mencari jalan tengah — bagaimana melindungi hak asasi manusia tanpa mengorbankan nilai-nilai agama dan budaya yang telah menjadi jati diri bangsa.
Bangsa ini akan tetap kokoh bukan hanya karena menghormati hak setiap warganya, tetapi juga karena berpegang teguh pada nilai moral dan spiritual yang diwariskan para leluhur.
Tentang Penulis:
Lalu Wisnu Pradipta adalah Direktur LIDI Foundation dan pegiat inklusi sosial di Nusa Tenggara Barat. Ia aktif dalam advokasi hak-hak penyandang disabilitas dan penguatan kelembagaan masyarakat sipil.

