Mataram, — Proses hukum terhadap M seorang warga yang kini ditahan di Lapas Kuripan dalam perkara dugaan penggelapan fidusia, menuai sorotan tajam. Meski telah ada pengakuan tertulis dari pelaku utama berinisial S yang menyatakan bahwa M tidak terlibat dan hanya dipinjam namanya, Kejaksaan tetap melanjutkan penuntutan terhadap dirinya (1/7).
Ironisnya, dalam surat pernyataan tersebut, S tidak hanya mengakui perbuatannya, tetapi juga meminta maaf kepada keluarga M dan menyatakan kesediaannya mengganti kerugian sebesar Rp50 juta karena telah menyebabkan M ditahan dan menderita akibat perbuatannya. S juga menyatakan akan menyelesaikan seluruh urusan kendaraan yang dijadikan jaminan pembiayaan.
“Apa lagi yang kurang? Pelaku sudah mengakui, bahkan meminta maaf secara terbuka dan menyatakan akan mengganti kerugian. Tapi korban justru yang dipenjara. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah bentuk kriminalisasi,” tegas Eva Lestari, S.H., kuasa hukum M.
Eva menjelaskan bahwa kliennya tidak pernah melihat, menguasai, atau mengetahui kendaraan yang dijadikan jaminan pinjaman. Nama M hanya digunakan oleh B dan S untuk mengajukan pembiayaan tanpa persetujuannya.
“Kami sudah menyerahkan bukti surat pernyataan S ke penyidik dan kejaksaan. Kami juga sudah bersurat secara resmi meminta penuntutan dihentikan. Tapi hingga kini, Kejaksaan masih menutup mata dan tetap menyeret korban ke persidangan,” ujar Eva.
Tim hukum menilai bahwa Kejaksaan seharusnya menggunakan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, karena jelas perbuatan tidak dilakukan oleh M dan tidak ada unsur kesengajaan darinya.
Eva juga mempertanyakan minimnya transparansi proses hukum oleh penyidik Polres Lombok Utara, termasuk saat kuasa hukum tidak diberi akses terhadap informasi penting seperti status P-21 dan nama jaksa peneliti.
Kasus ini menjadi preseden buruk bila tetap dilanjutkan. Ketika pelaku mengaku dan korban tetap dihukum, maka sistem hukum tidak lagi berpihak pada keadilan.
“Kami meminta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Kejati NTB, dan Kejari setempat untuk segera menghentikan perkara ini. Jangan sampai hukum dijadikan alat untuk menghukum orang yang justru menjadi korban,” tutup Eva.
Eva selaku Kuasa hukum M telah mengajukan permohonan resmi penghentian penuntutan (SKPP) kepada Kejaksaan, dan akan menyurati Jaksa Agung Muda Pidum di Jakarta serta Kejaksaan Tinggi NTB sebagai bentuk upaya mendapatkan keadilan.