Deadlock KUA-PPAS, Antara Sandiwara Politik dan Strategi Kekuasaan

0

 


 

Oleh : Samsul Gchunk 

Polemik deadlock pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) antara eksekutif dan legislatif di Lombok Barat kembali menjadi sorotan publik. Masyarakat diimbau untuk tidak terjebak dalam pro-kontra yang tampak panas di permukaan, sebab dinamika tarik ulur anggaran sejatinya adalah bagian dari panggung politik antara pemerintah daerah dan DPRD.

Seperti disampaikan oleh Samsul Gchunk dari Masyarakat Transparansi Anggaran, perdebatan ini lebih menyerupai "sandiwara politik" yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Di panggung depan, publik melihat adu argumen antara bupati dan anggota dewan. Namun di belakang layar, proses lobi-lobi politik dan kompromi tetap berjalan.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah berhak menggunakan APBD tahun sebelumnya jika dalam waktu 60 hari sejak pengajuan rancangan APBD tidak tercapai kesepakatan dengan DPRD. Artinya, sekalipun terjadi kebuntuan, bupati tetap dapat melaksanakan program pembangunan tanpa melanggar aturan.

Bupati Lombok Barat, H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ), yang juga menjabat sebagai Ketua DPW PAN tingkat Provinsi NTB, dinilai memiliki posisi politik yang kuat. Meskipun di Lombok Barat PAN hanya memiliki empat kursi DPRD, jabatan LAZ di tingkat provinsi memberinya pengaruh lebih luas.

Salah satu dugaan penyebab deadlock adalah upaya bupati untuk mengendalikan besaran Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD agar lebih terarah demi pembangunan yang efektif dan transparan. Apabila tujuan tersebut mampu diwujudkan, masyarakat diyakini akan memberi dukungan penuh.

Ketegangan antara eksekutif dan legislatif ini juga pernah berujung pada kesepakatan pembangunan alun-alun depan Kantor Bupati. Proyek tersebut dianggap sebagai strategi jangka panjang yang realistis, termasuk untuk mengantisipasi resistensi pembebasan lahan jalan ke arah timur dari Masjid Jami’ Gerung. Demikian pula pergantian warna cat gedung bupati dari putih menjadi biru-putih yang berjalan tanpa protes publik.

Bagi LAZ, kebijakan-kebijakan tersebut merupakan bagian dari “legacy” atau jejak kepemimpinan yang ingin ditinggalkan selama masa jabatannya.

Kesimpulannya, dinamika antara eksekutif dan legislatif Lombok Barat saat ini lebih tepat dipandang sebagai bagian dari proses politik yang tak terelakkan. Pro-kontra yang )dipertontonkan hanyalah bagian dari skenario. Pada akhirnya, duduk bersama untuk mencapai kesepakatan hanyalah soal waktu.


Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)