Doktor Firzhal Desak Pengawasan Masif Terkait diterbitkannya Izin Pertambangan Rakyat oleh Gubernur NTB

0



NTB - Gubernur NTB pada 29 Agustus 2025 menerbitkan Izin Prinsip Pertambangan Rakyat (IPR) Nomor: 800/673/DESDM/2025. Langkah ini disambut suka cita koperasi tambang rakyat sebagai angin segar kepastian hukum dan peluang ekonomi. Namun, di sisi lain, kritik mengemuka dari kalangan masyarakat sipil yang menilai pemerintah belum sepenuhnya siap mengawal dampak lingkungan dan sosial dari izin ini.


Dalam perspektif hukum administrasi negara, IPR bukan hanya soal legalitas teknis perizinan. Ia adalah ujian atas tata kelola kewenangan publik: bagaimana gubernur menggunakan dan mempertanggungjawabkan kewenangan yang lahir dari Perpres No. 55 Tahun 2022. Secara hukum, kewenangan itu sah secara atributif. Tetapi, legalitas formal tidak cukup. Hukum administrasi menuntut pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).


Sementara itu, Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H.C.M.C Praktisi & Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram yang juga menjabat sebagai Majelis Hukum & HAM PWM NTB 2022–2027 serta Bendahara DPC PERADI Mataram–NTB mengatakan agar Gubernur NTB lebih bijak dengan melihat berbagai aspek.



Pertama, asas kehati-hatian mengharuskan setiap izin berbasis kajian mendalam atas dampak lingkungan dan sosial. Tanpa itu, manfaat ekonomi bisa berubah menjadi kerugian ekologis. 


Kedua, asas keterbukaan menuntut akses publik atas informasi izin, daftar koperasi penerima, hingga kewajiban reklamasi. Tanpa transparansi, izin rawan dikuasai segelintir elit. 


Ketiga, asas akuntabilitas menegaskan bahwa pemerintah wajib mempertanggungjawabkan izin tidak hanya secara administratif, tetapi juga politik dan moral kepada rakyat. Jika pengawasan lemah, bisa terjadi maladministrasi, melanggar hak warga atas lingkungan sehat sebagaimana dijamin Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 65 UU No. 32/2009.


“kami mendorong agar Gubernur NTB mempertimbangkan setiap kebijakan terutama terkait pertambangan,  berdasarkan ketiga asas yang saya sebutkan tadi“ ungkap doktor Firzhal


Di sisi lain, gubernur memang memiliki ruang diskresi dalam hukum administrasi. Namun, diskresi yang tanpa proporsionalitas dan kontrol justru berisiko menjadi detournement de pouvoir—penyalahgunaan kewenangan. Di titik inilah politik hukum pertambangan rakyat diuji: apakah benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau sekadar legalisasi praktik eksploitatif?


Ke depan, IPR hanya akan bermakna jika diikuti tiga hal: transparansi penuh, reklamasi wajib yang diawasi ketat, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Tanpa itu, izin hanyalah dokumen sah di atas kertas yang gagal mewujudkan keadilan substantif.


Akhirnya, pertambangan rakyat dalam bingkai hukum administrasi negara harus ditempatkan sebagai instrumen kebijakan publik yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Negara hadir bukan sekadar memberi izin, tetapi memastikan setiap izin membawa manfaat nyata bagi kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Inilah ujian sejati bagi penyelenggara pemerintahan 


“apakah mampu menata sumber daya alam dengan visi jangka panjang, atau terjebak dalam pragmatisme jangka pendek” sambungnya.

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)