Lombok Utara — Di balik senyum polos yang tak pernah sempat berkembang sempurna, bayi Allia Hafizah menyimpan luka genetik yang tak kasat mata. Di usia tujuh bulan, Allia mengembuskan napas terakhir Pada Jumat ( 20/6 ) setelah berjuang hidupnya melawan penyakit genetik langka: Harlequin Ichthyosis.
Namun, kepergian Allia bukan sekadar catatan medis. Ia adalah alarm keras dari luka sosial dan budaya yang lebih dalam: praktik pernikahan sedarah yang diam-diam masih berlangsung di beberapa pelosok Lombok Utara.
Ketika kabar kondisi kritis Alisa sampai ke Ketua Bhayangkari Cabang Lombok Utara, Ny. Heny Agus Purwanta, ia tidak hanya mengirim bantuan. Ia turun langsung ke lokasi. Bukan dalam kapasitas seremonial, tetapi sebagai seorang ibu yang merasa terpanggil.
“Saya sangat bersimpati dan ikut berduka. Secara pribadi saya ingin tahu lebih dalam kondisi keluarga Allia. Dan ternyata, ini adalah kasus ketiga dalam satu garis keturunan,” ujar Ny. Heny dengan mata berkaca-kaca.
Dalam kunjungannya ke rumah duka di Dusun Teluk Nara, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang Pada Jumat ( 20/6 ), Ny. Heny mendapati kenyataan mengejutkan: dua bayi lain dari keluarga yang sama telah lebih dulu wafat karena kondisi serupa. Penyebab utamanya adalah riwayat pernikahan sedarah, yang tak pernah dibahas terbuka namun membekas di gen.
Meskipun kedua orang tua Allia bukan pelaku langsung pernikahan sedarah, sang ibu merupakan anak dari pasangan sedarah. Dampak genetiknya, seperti bom waktu, akhirnya meledak dalam tubuh mungil Allia.
Allia lahir dengan kondisi kulit kaku, menebal, bersisik, dan pecah-pecah — gejala khas dari mutasi gen ABCA12, yang mengganggu fungsi pelindung kulit. Di dunia, hanya 1 dari 300.000 bayi yang mengalami kelainan ini. Di banyak kasus, kematian datang dalam hitungan hari. Tapi Allia bertahan hingga tujuh bulan, berkat kasih sayang luar biasa dari kedua orang tuanya, meski dalam keterbatasan ekonomi.
“Mereka merawat Allia dengan penuh cinta. Saya melihat ketabahan yang luar biasa. Itu yang menguatkan saya untuk mendampingi mereka hingga akhir,” ujar Ny. Heny.
Ketua Bhayangkari bersama Dinas Kesehatan Lombik Utara menggalang donasi, mengirimkan susu khusus balita kronis dan perlengkapan bayi. Namun yang terpenting adalah kehadiran langsung, pelukan, dan empati di saat yang paling sunyi. Allia wafat dalam pelukan cinta, dikelilingi oleh keluarga dan orang-orang yang tak ingin membiarkan dia pergi sendirian.
Terpisah, Dokter Puskesmas Nipah, dr Julinda Fatma Andini menjelaskan bahwa kasus seperti Alisa seharusnya dirawat secara multidisiplin di rumah sakit rujukan. Namun, akses dan keterbatasan fasilitas sering membuat keluarga hanya bisa mengandalkan layanan dasar di Puskesmas.
“Kami lakukan yang terbaik: menjaga kelembaban kulit, mencegah infeksi, dan memantau tumbuh kembangnya secara berkala bersama bidan dan tim gizi. Tapi penyakit ini terlalu kompleks untuk ditangani sendirian,” kata dr Julinda.
Lebih dari perawatan fisik, tantangan utama adalah edukasi. Banyak keluarga yang tidak paham dampak jangka panjang dari pernikahan sedarah. Akibatnya, penyakit seperti ini terus muncul tanpa ada upaya pencegahan sistematis.
Kepergian Allia membuka tabir luka sosial yang selama ini dianggap biasa: praktik pernikahan antar kerabat dekat yang diyakini sebagian warga sebagai cara mempertahankan garis keturunan atau harta warisan.
“Fenomena ini nyata. Dan diam bukan pilihan. Harus ada sinergi lintas pihak: pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk mengedukasi tentang bahayanya,” tegas Ny. Heny.
Ny. Heny juga mengungkap bahwa keluarga besar Allia kini telah mengambil sikap. Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan keturunan dari pasangan sedarah dan mulai menyampaikan nasihat kepada lingkungan sekitar. Sebuah langkah kecil yang bisa menjadi awal perubahan besar.
Di balik tubuh mungil yang telah terbaring dalam keabadian, Allia meninggalkan warisan penting: kesadaran sosial. Tentang pentingnya cinta, perawatan, dan pengetahuan. Tentang keberanian menghadapi budaya yang harus dikoreksi. Tentang generasi mendatang yang layak hidup tanpa beban genetik akibat kelalaian kita hari ini.
“Mari jadikan kisah Alisa sebagai pengingat. Bahwa setiap anak, tak peduli kondisi lahirnya, berhak hidup dengan kasih sayang dan martabat,” tutup Ny. Heny.